Dampak Penjajahan Di Negara Koloni dalam Bidang Ekonomi
![]() |
| Dampak Penjajahan Di Negara Koloni dalam Bidang Ekonomi |
"Kebijakan ekonomi penjajahan bangsa Eropa di negara koloninya masing-masing mereka punya cara tersendiri. Namun, meskipun berbeda tujuan akhirnya juga tetap sama. Mengumpulkan kekayaan dari tanah jajahannya dan mengksploitasi sumber daya alam hingga tenaga kerja demi mendapat keuntungan yang besar."
GURUSEJARAH.WEB.ID - Sebelum penjajahan bangsa Barat, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan yang mandiri dengan sistem pemerintahan monarki. Kehidupan ekonomi masyarakat aktif dalam perdagangan antar pulau dan dengan pedagang asing. Secara sosial, terdapat struktur feodal di mana kaum bangsawan memegang kekuasaan. Masyarakat umumnya hidup dalam keadaan relatif damai, meski terkadang terlibat konflik antar kerajaan.
Kedatangan bangsa Barat awalnya disambut baik karena mereka membawa peluang perdagangan, tetapi segera dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial, mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih tertekan dan terjajah.
Penjajahan di Indonesia meninggalkan warisan yang kompleks, mencakup dampak negatif dan positif. Dampak negatif di bidang ekonomi, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem ekonomi yang menguntungkan pihak asing.
Berikut ini dampak ekonomi dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa di negara koloni:
Dampak Ekonomi Kolonial Portugis
Dampak pertama sekali yang dirasakan adalah tentunya kerajaan Malaka yang sebelumnya ekonominya mengalami kemakmuran dikarenakan Malaka sebagai pusat perdagangan sehingga perekonomiannya bertumpu pada kegiatan perdagangan dan pelayaran. Namun, setelah dikuasi Portugis semuanya berubah.
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, kegiatan perekonomian nusantara mulai ditentukan Portugis, menguasai akses jalur perdagangan, memonopoli pasar, hingga membuat blokade bagi para pedagang Islam.
Upaya yang dilakukan Portugis ini membuat para pedagang muslim dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan rute pelayaran mereka dan mencari jalur alternatif. Pengalihan ini mengakibatkan pelabuhan-pelabuhan baru seperti di Aceh, Johor dan Banten berkembang pesat sebagai pusat perdagangan baru bahkan mampu menyaingi Malaka.
Dampak Ekonomi Kolonial VOC
Untuk menghindari persaingan tidak sehat antar sesama pedagang Belanda di negara koloni, Johan van Oldenbarnevelt, seorang negarawan Belanda mengusulkan supaya para pedagang Belanda itu digabungkan di bawah sebuah perkumpulan dagang yang diberi nama dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), ataupun dalam bahasa Indonesia berarti "Persatuan Perusahaan Hindia Timur", yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 di Belanda.
Dengan bermodalkan hak-hak istimewa (octrooi) yang diberikan pemerintah Belanda, VOC mulai dengan bebas melakukan monopoli perdagangan di nusantara. Tujuan utama VOC, yang pada awalnya adalah untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, berkembang menjadi penguasaan atas sumber daya alam dan tenaga kerja di wilayah yang dikuasainya. Melalui perjanjian dengan penguasa lokal, serta penggunaan kekuatan militer, VOC berhasil menancapkan kekuasaannya di berbagai wilayah Nusantara.
Beberapa kebijakan ekonomi kolonial VOC di negara koloni (nusantara) yang berdampak kepada rakyat lokal:
1. Hak Ekstirpasi, yaitu hak VOC dalam melakukan penebangan dan pemusnahan rempah-rempah seperti pala dan cengkeh dalam menjaga kestabilan rempah-rempah. Saat rempah-rempah tidak berlebihan di pasar maka harga akan tetap tinggi dan dapat membawa keuntungan yang besar bagi VOC. Hak ini telah dibuat kesepakatan terlebih dahulu dengan raja-raja dan penguasa setempat yang seringkali bersifat memaksa.
2. Contingenten, yaitu pemberlakuan kewajiban kepada rakyat untuk membayar pajak hasil bumi mereka kepada VOC dengan ketentuan jumlah yang ditentukan VOC. Tujuanya ialah untuk menambah kas keuangan VOC.
3. Verplichte Leverantie, yaitu sebuah kebijakan yang ditetapkan VOC kepada rakyat lokal untuk menjual hasil bumi mereka hanya kepada VOC tidak diperbolehkan menjualnya ke yang lain tentunya dengan harga yang ditentukan VOC sendiri.
4. Pelayaran Hongi, yaitu kegiatan ekspedisi pelayaran yang dilakukan VOC dengan kapal kora kora dalam mengonrol jalannya monopoli perdagangan penjualan hasil rempah-rempah terutama di wilayah nusantara bagian Timur seperti pulau Ambon, Maluku, Ternate dan Tidore. Sehingga dengan begitu
5. Preangerstelsel, yaitu kebijakan yang mewajibkan masyarakat Priangan sebuah wilayah pegunungan di Jawa Barat untuk menanam kopi dan menyerahkannya kepada para bangsawan daerah. Kemudian kopi tersebut diperdagangkan ke Eropa oleh Belanda. Para bangsawan yang terlibat dalam praktek kebijakan ini mendapatkan keuntungan yang berupa komisi yang cukup besar.
Dampak Ekonomi Kolonial Hindia Belanda
Setelah VOC bangkrut dan bubar pada tahun 1799, kekuasaan kolonial di Indonesia diambil alih pemerintah Belanda dengan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia yang menjabat dari tahun 1808-1811. Kemudian mengubah pemerintahan menjadi Republik Bataf.
Dalam melakukan pembangunan ekonomi ada beberapa kebijakan ekonomi yang merupakan bagian strategi Deandels yang diterapkan misalnya di pulau Jawa guna mempertahankannya agar tidak jatuh ke tangan Inggris, diantaranya:
1. Memungut pajak hasil bumi dari rakyat (contingenten), suatu kebijakan yang sudah pernah ada pada masa VOC dan kini dilanjutkan Deandels, yaitu mewajibkan rakyat membayar pajak berupa hasil bumi sesuai dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
2. Menjual tanah negara kepada pihak swasta asing, kebijakan ini dikenal dengan kebijakan tanah partikelir, suatu upaya yang dilakukan Deandels dalam mengatasi masalah keuangan dengan kas yang hampir kosong diakibatkan korupsi yang besar di era pemerintahan VOC. Secara hukum Deandels secara sepihak mengklaim bahwa semua tanah di Jawa kecuali milik keraton adalah tanah negara milik pemerintah kolonial. Atas dasar itu ia merasa berhak untuk menjualnya kepada siapa saja. Pembelinya tidak hanya orang-orang Belanda tetapi saudagar dari etnis Tionghoa dan Arab.
3. Mewajibkan rakyat Priangan untuk menanam kopi (Preanger Stelsel), ini juga merupakan kebijakan warisan dari masa VOC. Deandels masih tetap mewajibkan penduduk Priangan untuk menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sangat rendah. Dalam menjalankan praktik ekonomi ini Deandels juga memanfaatkan para bupati dan bangsawan setempat sebagai perantara yang memobiliasasi rakyat dan menerima setoran kopi. Sebagai imbalannya para bupati menerima komisi besar.
4. Mewajibkan rakyat pribumi untuk menjual hasil panennya kepada Belanda dengan harga murah (verplichte leverentie). Demikian juga dengan kebijakan penyerahan ini, bukanlah ciptaan baru Deandels melainkan lanjutan dari sistem kebijakan yang pernah dijalankan VOC. Pada masa Deandels rakyat tetap masih diwajibkan untuk menyerahkan hasil bumi tertentu kepada pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan sepihak.
Dampak Ekonomi Kolonial Inggris
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Timur (1811–1816), menerapkan pendekatan berbeda dalam kebijakan ekonominya. Salah satu kebijakan penting Raffles adalah sistem sewa tanah (landrent system) yang bertujuan untuk menggantikan sistem feodal yang berlaku sebelumnya.
Di bawah sistem ini, petani dianggap sebagai pemilik tanah yang harus membayar sewa kepada pemerintah kolonial berdasarkan jumlah produksi lahan mereka. Sistem sewa tanah Raffles dirancang untuk meminimalisir peran para bangsawan lokal yang sebelumnya memiliki kekuasaan besar atas tanah dan petani di wilayah mereka.
Di samping itu kebijakan ekonomi Raffles di negara koloni ialah penghapusan monopoli dan kerja paksa. Raffles menghapus kebijakan monopoli perdagangan yang diterapkan VOC dan Daendels. Tujuannya ialah dapat mendorong perdagangan bebas serta dapat memberikan insentif bagi rakyat untuk meningkatkan produksi, yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan pemerintah melalui pajak.
Dalam hal penanaman tanaman wajib, berbeda dengan Daendels yang memaksakan penanaman komoditas tertentu, Raffles memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam tanaman yang laku di pasaran. Dengan kebebasan ini, Raffles berharap petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produksi dan menjual hasilnya, yang pada akhirnya akan menguntungkan pemerintah melalui pajak.
Meskipun bentuknya berbeda, tujuan akhir kebijakan ekonomi Inggris tetap sama dengan Belanda: mengumpulkan kekayaan dari tanah jajahannya. Eksploitasi terhadap tenaga kerja dan sumber daya tetap terjadi, hanya dengan mekanisme yang berbeda.
Sesuai dengan perjanjian Inggris-Belanda tahun 1814 atau disebut juga Konvensi London yaitu perjanjian untuk mengembalikan hak milik Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814, maka pemerintah kolonial atas nusantara berpindah tangan kembali kepada Belanda di bawah pemerintahan Komisaris Jenderal (1816–1818), Alexander G. P. van der Capellen (1816–1826), Leonard P. J. du Bus de Gisignies (1826–1830), Johannes van den Bosch (1830–1833) yang memperkenalkan sistem tanam paksa.
________________________________________
Daftar Bacaan:
- Aizid, Rizem. 2025. Sejarah Lengkap Kolonial di Nusantara. Yokyakarta: IRCiSoD
- Kurniawan, Aries., Samodro. (2022). Jurnal ADAT, Sejarah Masa Pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels dan Jan Willem Janssens di Pulau Jawa 1801-1811. Vo. 4 No.2. Halaman:1-16.
- Nurmalasyari., Wulandari, Nadila., Putri, Winda Amalia. (2024). Jurnal Sosial dan Pengabdian Masyarakat, Transformasi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat. Vol. 2 No. 4. Halaman: 71-79
- Sambas, Rizki Fadilla., Hazira, Rizki., Mutiara, Novia., Rosmaida, S,. (2024). AR RUMMAN - Journal of Education and Learning Evaluation. Kebijakan Antara Van Den Bosch Dengan Thomas Stamford Rafless. Vol. 1 No. 2. Halaman: 169-172.
.png)
Post a Comment for "Dampak Penjajahan Di Negara Koloni dalam Bidang Ekonomi"